KUBERI tahu sesuatu, bila engkau kenari kecil dalam kalimat ini: ”terbang, terbanglah kembali ke sangkarmu kenari kecil karena jendela yang terbuka itu adalah jurangmu”. Maukah kau kembali ke sarangmu?
Bila kukatakan bahwa konon kenari akan langsung melejit terbang keluar begitu pintu sangkar terbuka dan berputar-putar di ruangan, tetapi bila kau membuka jendela maka ia akan berhenti sejenak lalu akan terbang kembali ke sangkarnya karena ia tahu bahwa di balik jendela itu hanya kematian yang tersedia baginya, bukan makanan dan minuman yang selalu tersedia di wadah di dalam sangkar. Mana yang akan kau pilih?
”Home” adalah tombol kecil di sebelah kanan kibor. Bila kau menekan tombol itu maka kau akan kembali ke tempat semula; di awal paragraf. Maukah kau menekan tombol itu ketika kata menyesatkanmu, kalimat menyesakkanmu, engkau terdesak, telanjang, malu, terhinakan. Atau kau akan berjalan terus? Lantas kau bersungut-sungut dengan memilukan dan memalukan: hidup ini memang penuh penderitaan, dan kau menjadi sinis melihat duniamu, menganggap kau adalah makhluk paling menderita dan Tuhan mempermainkanmu hanya karena Dia bisa.
”Lihat,” katamu ”bahkan kau yang menuliskan aku, harus menuliskan huruf besar untuk T dan D pada kata tuhan dan dia pada kalimat sebelum ini, kenapa memangnya? Apakah engkau takut akan kutuk bila menuliskan tuhan dan dia dengan huruf kecil?”
Lantas kau melihat orang lain pasti lebih berbahagia daripadamu, kau katakan itu salah. Tak semua orang lebih bahagia daripadamu. Tak mungkin kau sepenuhnya benar tapi ah, itu kan urusan orang lain, hanya dengan mengurus kenari kecil saja, kau sudah sibuk.
Rahim adalah sesuatu yang berada di bawah dan kata orang karena tak ada yang pernah ingat bagaimana rasanya di dalam rahim, maka rahim dicipta untuk dilupakan, tetapi suatu saat jalan menuju ke sana terbuka kembali, maukah kau kembali ke sana dan tinggal kembali di sana. Menghentikan paru-parumu yang mengisap segala debu itu. Diam. Mata tertutup. Berharap kelahiran tak pernah ada.
II
JADI kawanku, kita bertemu lagi setelah sekian lama engkau menghilang. Kemana saja? Ini malam ke berapa aku duduk di sini menuliskan surat untukmu.
Maka kali ini apa yang ada di pikiranmu? Engkau lelah, bahkan engkau merasa lelah oleh kelelahan itu. Tapi engkau tak mau pergi karena engkau tahu lari tak menyelesaikan masalahmu. Lantas mengapa engkau tak memilih bunuh diri? Dengan arsen, seperti nyonya Bovary? Tidak, kehidupan menyisakan kematian, memang tetapi... Engkau tercenung tak tahu jawab. Engkau tercenung lalu menggeleng: nggak aja. Mungkin hidup menyebalkan tapi bunuh diri tidak —belum-mudah-mudahan tidak jadi pilihanku. Engkau bingung. Lantas engkau menulis. Menuliskan sesuatu. Menciptakan sesuatu. Engkau tak tahu itu apa, engkau hanya menulis, menulis saja. Bahkan tak tahu apakah satu kata dengan kata berikutnya membentuk kalimat yang memiliki arti. Menulis. Sulit sekali rasanya padahal engkau sudah membubuhkan ”penulis” di belakang namamu. Ah, engkau tersenyum. Biarlah. Memang mengapa kalau tak dapat menepati janji? Adakah janji di belakang sebuah nama?
III
IA menemukan dirinya adalah biru di antara sapuan merah, maka ia bangkit membersihkan dirinya. Dirasa sulit dan susah tapi semua terbayarkan. Ia menemukan dirinya biru sendirian tapi merah tak lagi menimpa menutupi dirinya. Beranikah? Ia gentar karena ia sendirian. Ia sendirian, mula-mula sakit dan sepi tapi ia mencelupkan diri ke dalam kesendirian itu, tenggelam dan membiarkan dirinya jatuh ke dasar untuk menemui kematian yang biru. Ia tak menemukan kematian. Ia menemukan biru. Warna dirinya. Maka ia pun hidup dalam biru. Biru tidak membunuhnya. Kesepian membuatnya takut tetapi ternyata tidak membunuhnya. Ia tetap hidup tetapi kemudian ia bertanya, memang mengapa kalau mati? Apa bagusnya hidup? Ia tak menemukan jawabannya ia juga tak selera mencari, hanya dari waktu ke waktu ia berjalan, tak lagi mencari jawab. Karena ia tak yakin setelah menemukan jawaban ia akan bahagia. Bahagia? Apa lagi itu? Bahagiakah ia? Ia tak tahu juga. Sekali-sekala ya. Kadang ketika ia merasa berkuasa ia bahagia. Saat mendengarkan musik ia bahagia tetapi ia merasa teman yang paling setia adalah kesepian dan kesendiriannya tetapi juga ia tak lantas mencari keramaian untuk mengusir kesepian itu. Di keramaian yang ia dengar hanyalah suara orang lain sementara kesepian itu tetap diam di dalam dirinya. Maka ia berpikir kesepian di dalam keramaian itu lebih buruk daripada membiarkan dirinya memang benar-benar sendiri dengan kesepiannya. Kesepian membuatnya takut dan sedih tapi tidak, atau belum membunuhnya. Barangkali kesepian dan kesendirian akan membunuhnya pelan-pelan. Cepat atau lambat. Tetapi bukankah keramaian juga demikian? Dalam sebuah keramaian tak berwajah ia akan terombang-ambing, hilang, dan suatu saat, mati juga. Mati. Mati. Mati. Kata itu. Apakah itu lawan dari hidup? Hidup Mati. Hidup Mati.
Barangkali ia menginginkan sesuatu. Tidak sesuatu. Banyak suatu. Suatu ini suatu itu tapi tidak juga ia berpikir bahwa ketika ia mendapatkannya ia akan bahagia.
Kebahagiaan, bagi dirinya ketika menuliskan ini, seperti nyala korek api dari cerita gadis korek api. Hanya sepercik sepercik dan ia harus menghabiskan seluruh persediaan korek api untuk melihat kebahagiaan itu. Tak perduli maya atau nyata. Jika lantas di akhir cerita sang gadis beku tetapi berangkat ke surga adakah itu upaya si pencerita menghindari rasa sedih yang berada di dadanya sendiri, dengan menciptakan cerita yang membuat lega bahwa walau pada kenyataannya sang gadis mati kedinginan ternyata jiwa sang gadis atau apa pun itu berangkat ke surga. Adakah yang tahu surga? Ah, sebuah tempat penuh kenikmatan. Lantas bagaimana ia tahu kenikmatan jika kesusahan belum pernah dirasa. Tafsir muram atas nasib adalah bahwa manusia menanggung sedih karena memiliki hati. Tentu ia merasakan bahagia juga karena ia memiliki hati juga.
IV
IA berjanji, entah pada siapa, tak akan menjadi dia, dia, dia, dan dia, melainkan menghidup dengan sebisa yang ia bisa. Merasa sebisa yang bisa ia rasa, tak mengingkari tangis, sepi, rasa kesepian itu, kesedihan itu, tak mengingkari doa-doa, tak mengingkari apa pun. Tak menghindari apa pun. Pun kegilaan? Kegilaan. Kegilaan. Kegilaan. Kegilaan. Ia menuliskan kata itu berkali-kali. Ia lantas tersenyum, membalik padamu menemukan jawab. Katanya: ia takut, ia takut pada kata itu, ia tak mengingkari bahwa ia takut pada kata itu. Apapun itu. Ia tak mengingkari bahwa ia takut pada kegilaan. Karena dalam kegilaan tak ada kesadaran, tak ada ingatan, semua, sepertinya meleleh dan bercampur. Ia akan kehilangan dirinya tapi tak mati. Ia akan jadi beban orang lain yang barangkali dengan jijik menyuruhnya pergi, memberinya sebungkus nasi lalu menyuruhnya enyah segera dari wajah mereka. Akankah ia menjadi gila? Menjadi budak ia pernah, barangkali sama. Perbudakan dengan kegilaan. Keduanya menghilangkan keberadaan seseorang tanpa kematian. Ia tak ingin jadi gila. Tak ingin jadi budak. Ia ingin...ia ingin apa? waras... bebas...bisakah? Waras dan bebas? Mengapa tidak? Bukankah itu juga suatu ingin? Ingin itu ingin ini.
V
IA ingin pulang. Atau tepatnya tak ingin ke mana-mana lagi. Di sini saja. Berdiam di sini dan ia berkata padamu: aku takut pada senja. Senja seperti kaca pembesar yang membuat rasa sepi dan sedihku tampak lebih menakutkan dari ukuran sebenarnya. Seperti setetes embun terakhir yang menggantung di dahan kurus yang memperbesar daya sinar matahari pada satu titik, menetaskan nyala dan membuat padang rumput terbakar.
Sebaliknya ia menyukai malam yang larut dan hitam, gelap. Sepertinya di sana ada tenaga yang dapat menyubversi kenyataan pada siang hari. Sepertinya. Seperti kutuk diakhiri enyah barangkali doa ditakdirkan untuk diakhiri dengan amien. Karena tak seperti peluru yang mengentak, doa lebih mirip diamnya daun yang kering dan jatuh ke permukaan sungai yang tenang, menimbulkan riak kecil dan ikut mengalir tanpa suara. Suara. Kadang ia hanya menimbulkan gaduh dan gundah. Sementara ia tak benar-benar mengusir sepi. Suara hanya mengisi ruang dan meninggalkannya tetap dalam kekosongan.*** hasil repost dari cerpenis "Dinar Rahayu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar